Selasa, 08 September 2009

Jaques Derrida

JACQUES DERRIDA
Prototype Metafisika Postmodernisme

1. Pendahuluan
Apakah metafisika mungkin?[1] Sebuah pertanyaan yang mengindikasikan suatu pencarian secara terus menerus tentang realitas yang-ada. System metafisika merupakan tema perdebatan yang terus menerus dibahas dalam setiap era peradaban filsafat. Dalam tradisi metafsika klasik, persoalan metafisis selalu berhubungan dengan dalam pembahasan tentang yang-ada, yang hadir dalam kesendiriannya, artinya itu yang hadir secara demikian. Pemahaman metafisika mendapat tanggapan pro dan kontra. Ada dua alasan: pertama, konsep metafisika itu tidak valid, tidak bisa diverifikasikan, tidak konkret, dan tidak positif. Kedua, ilmu metafisika tidak fungsional, sama sekali tidak bermanfaat. Dari sikap-sikap inilah kemudian muncul penyangkalan atau penolakan system metafisika oleh aliran atau filsuf yang satu terhadap aliran atau filsuf yang lain. Misalnya, metafisika Aristoteles yang memahami ada sebagai yang-ada (being qua being). Oleh Kant, metafisika ini jelas tidak mungkin sebab proposisi-proposisi metafisika tidak sintesis a priori dan secara metodologis sulit dipertanggungjawabkan.[2] Namun Kant mengatakan juga bahwa metafisika itu tetap mungkin, walau berubah bentuk sekali pun, sebab dengan menghilangkan satu system metafisika saat itulah ia bermetafiisika, artinya saat itu juga ia membangun system metafisika baru. Inilah yang dilakukan Postmodernisme. Munculnya postmodernisme mengisyaratkan segala kemapanan system-sistem, idiologi-idiologi, struktur-struktur ciptaan modernisme telah runtuh. Modernisme hanya merupakan suatu usaha pendulangan metanaratif. Hanya grand narative.[3] Ini mau mengatakan bahwa segala produk modernism yang mengedepankan peradaban rasionalitas dibantah oleh postmodernisme dengan gaya berpikir lain, seperti yang dilakukan oleh Jacques Derrida dengan metode dekonstruksi.

2. Postmodernisme
2..1. Kelahiran Postmodernisme
Postmodernisme lahir di Perancis dalam tahun 1960.[4] Istilah postmodernisme sendiri muncul sekitar tahun 1970-an dalam bidang arsitektur, yang lantas merembes ke wilayah sastra yang akhirnya menjadi semacam paradigm tandingan bagi modernism.[5]
Postmodernisme adalah gelombang cara berpikir yang memandang kemapanan modernism telah runtuh dan ketinggalan jaman. Ketinggalan jaman maksudnya ialah bahwa kemapanan yang telah dibangun oleh modernism telah ketinggalan legitimasinya, aktualitasnya, relevansinya. Keruntuhan ini seiring dengan berkembangnya peradaban baru yang mendobrak bentuk-bentuk kemapanan hidup mausia.[6]
2.2. Gagasan Pokok Pemikiran Postmodernisme
2.2.1. Diskusi Post-Strukturalist
Lahirnya filsafat Postmodernisme, bermula dari merebaknya diskusi kaum post-strukturalistfoundasionalisme. yang melawan atau menolak rationalisme, utopianisme, dan
  • Contra rationalism. Ini mengacu pada filsafat Rene Descartes yang menekankan subyektivitas ratio. Kesesuaian antara ide atau konsep dengan realitas. Inilah kebenaran sistematis, maksudnya apakan ide-ide saya itu sesuai atau tidak dengan realitas.
  • Contra utopianisme. Maksudnya menentang filsafat spekulatif absolute Hegel. Suatu pengedepanan subyektivitas roh. Atau cita-cita Marx dalam cetusan mengenai idiologi kesatuannya tentang masyarakat communal. Masyarakat communions, yang dikenal dengan komunisme.
  • Contra foundationalisme. Maksudnya menentang rincian cara berpikir yang menggagas fondasi-fondasi kebenaran. Seperti nyata dalam Descartes dalam bukunya Meditasi-Meditasi Filsafat. Atau gaya berpikir Plato dalam gagasannya: “jika orang memahami realitas hidupnya ia harus memiliki referensi ke dunia Idea”.

Kritik post-strukturalist (1960-1970) mengalir menjadi semacam oposisi politis: tidak tunduk pada academic authorities dan negara, dan dikaitkan dengan kritik atas imperialisme barat dan rasisme, juga feminisme. Itulah sebabnya filsafat postmodernisme identik dengan post-strukturalist yang menolak kemungkinan pengetahuan obyektif tentang dunia nyata.[7]
2.2.2. Postmodernisme adalah Filsafat Tidak
2.2.2.1. Perdebatan antara Modernisme dan Postmodernisme
Untuk dapat mengerti apa itu postmodernisme, Adam B. Seligman (1990) memperlihatkan beberapa tema besar yang menjadi bahan perdebatan antara modernisme dan postmodernisme. Pertama, perdebatan antara akal (reason) dan nihilsme. Kedua, antara nilai rasionalitas dan nilai instrumental. Ketiga, antara kategori universalitas dan kategori individualitas. Keempat, antara keuniversalan nilai dan otonomi ego individual. Point kedua dari keempat perdebatan itu memperlihatkan watak postmodernisme.

2.2.2.2. Tema-tema Postmodernisme
Filsafat postmodernisme adalah filsafat tidak. Tidak kepada apa? Postmodernisme berkata tidak kepada pengetahuan immediately presented, tidak kepada origen, tidak kepada unity, tidak kepada transcendence, dan tidak kepada book. Postmodernisme mengajukan apa yang disebut sebagai the idea of constitutive otherness. Rincian penyangkalan ide-ide inilah yang mendominasi diskusi filsafat postmodernisme.[8]
Watak postmodernisme dapat dijelaskan dalam rincian tema yang merupakan penyangkalan postmodernisme terhadap modernism, yaitu:
  1. Postmodernisme menolak paham-paham pengetahuan yang berkarakter immediately presented atau pengetahuan kesekaligusan, atau kesekarangan mengenai realitas.
  2. Penyangkalan terhadap tema origen. Bagi postmodern tidak ada pendasaran asal-usul pengetahuan seperti yang dianut oleh para filsuf self-centering.[9]
  3. Postmodernisme juga menolak paham unity.[10] Manusia tidak pernah merupakan suatu eksistensi singular karena manusia memiliki selves dari pada a self.[11] Realitas lebih tepat bila diapresiasikan karena keberagamannya dari pada direduksi dalam keseragaman.[12]
  4. Postmodernisme juga menolak transendensi[13] dengan memberikan penegasan pada proses immanensi dan memberi ruang pada manusia untuk mengedepankan proses belajar, writing, negosiasi, dan realita-realitas yang memproduksi apa-apa yang bersentuhan langsung dengan hidup manusia.
  5. Filsafat postmodernisme ya terhadap the idea of constitutive otherness.[14] Eksistensi manusia membutuhkan ruang.[15] Kesadaran mengenai ruang bukan dalam hubungannya dengan keluasan melainkan kesadaran mengenai yang bukan saya. Strategi constitutie otherness artinya realitas ke-lain-an yang justru bersifat konstitutif.

Tema-tema inilah yang membentuk suatu system filsafat baru yang tidak lagi berorientasi pada persoalan metafisika kehadiran, seperti yang dipahami dalam era modernitas atau bahkan sebelumnya. Cara ini telah ditinggalkan dengan suatu usaha membangun system berpikir yang langsung menghantam kemapanan modernitas. Misalnya, seperti yang dilakuklan oleh Nietzsche.[16] Atau seperti pembalikan yang dilakukan oleh Lyotard terhadap utopia Habermas, yang melihat usaha modernism hanyalah suatu usaha pendulangan metanarative. Atau lebih lagi dalam Derrida yang mengeksploitasi metafisika kehadiran Barat dengan metode dekonstruksi. Dengan dekonstrusinya, Derrida telah membangun suatu system metafisika baru dengan gaya berpikir postmodernist.
3. Jacques Derrida

3.1. Latar Belakang Tokoh
Jacques Derrida[17] adalah seorang filsuf Perancis yang pemikirannya mendapat tempat sentral dalam postmodernisme. Sebenarnya ia lebih cocok dikatakan sebagai seorang hermeneutic. Hapir semua karyanya berbentuk parasitis (Llewelyn, 1985), dan merupakan komentar atas karya orang lain. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Heidegger[18], Husserl, dan aliran strukturalisme.
3.2. Derrida dan Heidegger
Pengaruh pemikiran Heidegger tampak dalam metode dekonstruksi itu sendiri, yang merupakan pengalihan dari deconstruction-nya Heidegger. Dalam Bend and Time, Heidegger telah meletakkan suatu deconstruction terhadap metafisika kehadiran Hegel dan Husserl, dan tradisi metafisika Barat secara keseluruhan.
Menurut Heidegger seluruh tradisi metafisika ditandai oleh “lupa akan yang-ada” (seinvergessenhit), artinya yang-ada diperlukan sebagai ada khusus yaitu benda, obyek (gegestand).[19] Inilah yang hendak dihancurkan dan diganti dengan orientasi dan pendekatan baru. Bagi Derrida sendiri yang-ada harus selalu dimengerti sebagai kehadiran. Maka Derrida menggunakan istilah dekonstruksi daripada dengan deconstruction, sebab jika deconstruction

3.3. Fenomenologi Husserl
Dua metode yang digunakan Husserl. Pertama, metode positif, yang disebutnya sebagai Zu den sachen selbst (kembali ke halnya sendiri). Artinya, yang terpenting ialah halnya, benda itu sendiri, bukan gagasan mengenai hal tersebut. Kedua, metode negative, yang disebutnya sebagai Voraussetzungslosigkeit yang mutlak, atau kekurangan pengandaian yang mutlak.[20] Dua metode ini dapat mengantar kita kepada suatu tingkat kepastian yang lebih tinggi.
Pengandaian fenomenologi tradisi metafisika tentang kehadiran condong ke arah yang-ada yang hadir bagi dirinya sendiri. Yang-ada benar dalam dirinya sendiri, terlepas dari ruang dan waktu. Inilah yang kemudian memunculkan pemahaman mengenai subyek transcendental. Derrida menolak pemikiran ini sebab kehadiran itu selalu berarti di sini dan sekarang, here and now.

3.4. Pengaruh Strukturalisme
Strukturalisme membuat cabang dalam struktur jalan pikirannya ke dalam ilmu-ilmu lain, juga kesusastraan dan ilmu bahasa. Dalam hal ini Derrida menyangkal pernyataan bahwa struktur benar-benar ada. Noam Chomsky[21], strukturalist, mengatakan bahwa bahasa itu diprogramkan ke dalam pikiran manusia, dan manusia sebagai pembicara menerima begitu saja dan mengikuti struktur tersebut. Bagi Derrida makna tidak dapat disusun dalam pikiran manusia selama makna itu merupakan produk pengalaman. Derrida ingin mengupas gagasan mengenai struktur karena struktur menentang kebebasan peran makna. Sebab jika demikian maka setiap orang akan membaca makna yang sama pula, dan jika makna ditempatkan di bawah suatu ruang lingkup, maka makna tidak dapat dihasilkan oleh metodologi yang terstruktur.

4. Perkembangan Pemikiran Derrida

4.1. Metode Dekonstruksi
4.1.1. Dari konstruksi ke dekonstruksi
Dengan dekonstruksi tidak dimaksudkan penghancuran, pembubaran ataupun peniadaan. Konstruksi memang berarti membangun, pendirian, atau sistemasi. Konstruksi memaksudkan pendirian rasionalitas. Ini khas modernitas, dan Descartes adalah pionirnya. Rasionalitas bukan sekedar perkara diskrepansi atau korespondesi subyek atau ide akal budi dengan subyek realnya. Rasionalitas adalah kesadaran. Dengan kesadaran dimaksudkan subyektivitas. Kesadaran bahwa aku adalah entitas yang berpikir. Terminology Cartesian melukiskan dengan tepat: res cogitans. Manusia adalah res yang menyadari. Kesadaran manusia adalah kesadaran rasional yang tidak pernah mandeg sebelum memiliki keyakinan mengenai keabsahan. Terminology konstruksi mau mengatakan bahwa dengan memiki kesadaran, manusia memiliki segalanya. Menusia menggagas dirinya, sesama, Tuhannya, lingkungannya, dan segala sesuatu yang bertautan dengan kehidupannya.
Konstruksi memproduksi apa yang disebut dengan ilmu pengetahuan, teknologi, idiologi-idiologi, hokum, agama, metafisika, dan sejenisnya. Inilah kemapanan modernitas, yang menggiring realitas hidup manusia ke taraf yang lebih rendah, sebab hanya menjanjikan kepalsuan. Hanya suatu metanarative. Ini dianalisis oleh postmodern. Kemodernan telah menjatuhkan peradaban ke tingkat yang lebih rendah. Peradaban manusiawi mundur. Maka postmodern melabrak itu. Melabrak kepentingan. Ia menggerbak narasi, atau narasi agung prodak modernitas. Bagaimana menggerbaknya? Derrida mengajukan aktivitas rasional yang disebut dengan dekonstruksi.
Dekonstruksi tidak menawarkan penghancuran. Dengan dekonstruksi dimaksudkan pembacaan ulang (re-reading) seluruh realitas, yang de facto merupakan produk dari modernitas sejak cartesius. Karena merupakan aktivitas membaca ulang, dekonstruksi memandang realitas sebagai suatu teks. Jadi di sini dekonstruksi berhadapan dengan bahasa. Dengan bahasa tidak dimaksudkan terutama dengan kata (word) melainkan symbol (sign). Dekonstruksi akan memandang bahwa realitas sesungguhnya adalah dunia symbol. Dari Ferdinad de Saussure[22]signified (realitas yang dimaknai) dan signifier (realitas yang memaknai/pemberi makna tersebut). Klaim modernitas atas keabsahan sesungguhnya langsung berhubungan dengan struktur signifier-nya, dan bukan menyentuh signified-nya. Artinya ada struktur-struktur pemahaman rasional yang – dalam ilmu pengetahuan – terjadi penekanan-penekanan yang berlebihan dan kompromistis atas realitas.

4.1.2. Dekonstruksi terhadap metafisika kehadiran
Filsafat Derrida kerap disebut sebagai filsafat dekonstruksi yang merupakan serangan terhadap metafisika kehadiran (the metaphysic of presence). Ide dekonstruksi muncul dari deconstruction-nya Heidegger. Dekonstuksi merupakan suatu interpretasi. Jadi dalam dekonstruksi dipakai metode hermeneutika (teknik membaca), yang menekankan suatu permainan bebas[23] terhadap suatu teks.
Dalam tradisi metafisis yang-ada selalu demengerti sebagai kehadiran, yaitu hadir untuk sesuatu (presesce for something), seperti yang digagas oleh Hegel dan Husserl. Yang-ada yang hadir itu sebagai dirinya, tanpa ikatan apapun. Inilah yang ditoleh Derrida, karena kehadiran selalu berarti di sini dan sekarang. Kehadiran bukan suatu instansi independen yang mendahului tutudan dan tulisan. Kehadiran ditampilkan dalam tuturan dan tulisan, dalam tanda yang kita pakai.
Tradisi metafisika kehadiran mengaggap tanda menghadirkan sesuatu yang tidak hadir, artinya tanda berfungsi sebagai pengganti realitas yang ada di baliknya. Tanda mau mengungkapkan kenyataan yang tersembunyi. Dengan demikian tanda akhirnya menunjuk pada obyek itu sendiri sebagai hadir. Tanda hanya sekedar, yang untuk sementara, menunda kehadiran obyek itu sendiri. Menurut Derrida tanda tidak dapat menunjukkan suatu totalitas yang lain dari dirinya sendiri. Tidak ada makna murni yang dapat diabstraksikan dari tanda. Melalui jaringan tanda itulah obyek-obyek muncul.

4.2. Sistem Metafisika Menurut Derrida
4.2.1. Teks sebagai Interpretasi Metafisika Kehadiran
Maksud Derrida perlu dijelaskan lebih lanjut. Jaringan atau rajutan tanda oleh Derrida disebut teks atau tenunan. Derrida kembali pada arti asli (Lat. Textere = menenun). Jadi bukan dalam pengerian biasa. Teks tidak hanya dipahami sebagai kumpulan teks. Teks melingkup segala seuatu. Segala seuatu adalah teks dan mempunyai status teks. Derrida menekankan bahwa tidak ada makna yang melebihi atau terlepas sebagai teks. Tidak ada sesuatu yang eksis lepas dari teks. Jadi tidak ada nilai transcendental di luar teks.
Penekanan filsafat Derrida pada teks ini karena keinginannya untuk mengubah tradisi metafisika yang bersifat logosentris[24] dan cendrung fenosentris ke arah grammatology atau ilmu tentang tulisan, tanda-tanda, atau tentang tekstualitas. Derrida memaksudkan bahwa tulisan dulu baru ucapan, sebab sebelum orang mengucapkan ia terlebih dahulu menuliskannya, artinya tulisan itu sudah muncul lebih dulu tatkala ia hendak mengatakannya. Maka bagi Derrida, tulisan itu harus mendahului ucapan dan merupakan syarat awal sebuah bahasa.[25]
4.2.2. Tulisan sebagai Arche Writing
Dengan menggiring tradisi metafisika yang cendrung logosentris dan fenosentris kepada grammatology, dimana penekanannya ialah pada teks, Derrida telah menempatkan tulisan sebagai arche-writing. Arche tulisan dianggap sebagai asal usul tuturan. Menurutnya, setiap macam bahasa menurut kodratnya adalah tulisan. Oleh karena itu, tulisan merupakan sumber dari segala aktivitas bahasa.
Arche writing pertama-tama merupakan kunci untuk memahami gagasan-gagasan Derrida. Arche writing dimaksudkan oleh Derrida untuk membicarakan waktu sebelum waktu yang kita alami, atau bahasa sebelum bahasa yang kita pakai saat ini. Arche writing merupakan syarat utama untuk memungkinkan sebuah bahasa dinyatakan sebagai sebuah system, atau melalui arche writing ini kita dapat memahami pernyataan atau artikulasi yang benar dari ucapan dan tulisan. Karena bahasa pada dasarnya sudah merupakan tulisan maka konsep ucapan-tulisan harus diganti dengan tulisan-ucapan. Dengan usapan, tulisan akan mencapai kesempurnaannya dan memperoleh arti, isi, serta nilainya.
Derrida yakin bahwa meskipun orang belum mengucapkan kata-kata, namun tulisan sudah siap untuk dicurahkan. Tulisan dibatasi oleh bahasa yang diucapkan, karena ucapan, yaitu makna yang ditunda kehadrannya, sudah terdapat dalam tulisan. Dengan ini, Derrida hendak mengatakan bahwa tulisan sudah merupakan suatu fait accompli, yang sudah selesai dan terlaksana pada aat orang berbicara.

4.2.3. Differance[26]
Untuk menguraikan rahasia pernyataan Derrida kita harus kembai ke differance. Makna sebagaimana tanda, selalu tertunda. Atau dengan kata lain masih bergerak antara masa lalu dan masa mendatang. Differance juga berarti gerakan masa sekarang ke dalam masa lalu dan masa mendatang. Inilah sebabnya Derrida mengatakan bahwa differance itu tidak statis, tetapi genetis, dinamis, yang mengatasi kerangka waktu. Differance, sebuah proto-waktu, dan di bawah jangkauan ekstase waktu.
Derrida mendefinisikan difference dalam empat pengertian. berarti harus membangun suatu system metafisika baru. kita tahu bahwa apa yang disebut dengan sign terdiri atas struktur
  • Pertama, differance, menunjuk kepada apa yang menunda kehadiran. Difference adalah proses penundaan (aktif-pasif) yang tidak didahului oleh satu kesatuan aski.
  • Kedua, differance adalah gerak yang mendiferensiasikan, yang merupakan akar bersama bagi oposisi antara konsep-konsep.
  • Ketiga, differance adalah produksi semua pembedaan yang merupakan syarat untuk timbulnya setiap makna dan setiap struktur.
  • Keempat, differance menunjukkan juga berlangsungnya perbedaan antara Ada dan ada-an, suatu gerak yang belum selesai. Sebuah gerakan dinamis.

Keempat difinisi tentang differance ini menegaskan bahwa difference tidak bisa diartikan sebagai asal-usul, sebagai identitas akhir yang melebihi semua perbedaan factual. Tepat bila dikatakan bahwa differance tetap merupakan kunci untuk makna. Differance tidak tampak secara jelas namun membuka kedok makna, sehingga apa yang dihadirkan oleh tanda ataupun tulisan dapat dimengerti oleh pembaca.

5. Penutup

Kita telah melihat bagaimana metafisika itu merupakan suatu tema pembahasan yang tak kunjung henti dalam sejarah peradaban filsafat. Mulai dari era Yunani sampai pada era Postmodern. Ini telah dilakukan oleh Derrida, yang memberikan tiga tema dalam bermetafisika.
  • Pertama, Derrida meletakkan teks sebagai interpretasi metafisika kehadiran, dimana segala sesuatu adalah teks dan berstatus teks.
  • Kedua, dari teks Derrida memberi pendasaran dengan mencetuskan tulisan sebagai arche writing yang merupakan asal usul tuturan, dan merupakan syarat utama untuk memungkinkan sebuah bahasa dapat dinyatakan sebagai suatu system.
  • Ketiga, kerana makna merupakan suatu realitas tertunda, maka Derrida memberikan suatu pemahaman makna lewat differance, yang merupakan suatu gerak dinamis tanpa henti.

Ketiga tema di atas tidak terlepas dari metode dekonstruksi yang telah dibangun oleh Derrida. Dekonstruksi Derrida telah mengatakan kepada kita bahwa realitas itu bukan hanya dalah hubungannya dengan akal budi, tidak berhenti pada ratio, seperti kebanggaan modernitas. Realitas itu bukan berarti buku yang sudah jadi secara demikian.


Bagaimana menjelaskan realitas? Realitas didahului oleh ke-lainan-nya (being it’s ows differance). Realitas merupakan itu sebagai demikian, karena ke-lainan-na bukan dia. Artinya suatu relasi yang bersifata constitutive otherness. Menyertakan yang lain di luar diri saya. Dengan demikian, manusia akan menyadari bahwa ia merupakan realitas dirinya yang secara demikian yang berbeda dengan apa saja yang bukan dirinya. Realitas itu dinamis. Suatu aktivitas tanpa henti, yang beranjak dari rentetan pengalaman keseharian kita. Dengan demikian Derrida menegaskan bahwa hidup itu bukanlah seperti apa adanya, dalam tata rutinitas. Hidup itu memiliki it’s own differance. Hidup itu memiliki ke-bebeda-anku dengan yang lain yang membangun diriku. Akhirnya hidup adalah realitas yang menyatu dalam ke-perbeda-annya dengan kematian. Maksudnya, hidup itu adalah realitas yang juga merangkul ke-berbeda-annya dengan kematian.

Kepustakaan

Bambang I. Sugiharto, Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1996
Berteens, K., Filsafat Barat Abad XX Jilid II PERANCIS, Gramedia, Jakarta, 1996
Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat: Dari Aristotles sampai Derrida, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998
Riyanto Armada, Fides et Ratio dalam Philosophica et Theologica, STFT, Malang, Vol. I No. 1 Okt 2001 – Feb 2002
_________, Geneologi Postmodernisme. Licture Studying of Postmodernism, STFT, Malang, 2002
Sumaryono E., Herneneutik Sebuah Metode Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1993

­­­
Notes:

[1] Pertanyaan ini dilontarkan oleh Kant pada abad XVIII dalam bukunya Kritik atas Rasi Murni. Bdk. Joko Siswanto, 1998:1.
[2] Ibid.,
[3] Ini merupakan tema perdebatan Habermas dan Lyotard dalam diskusi postmodernisme; Richard Rorty:162-175.
[4] Armada Riyanto, 2002:1
[5] Joko Siawanto, Op.Cit.,:156
[6] Bdk. Armada Riyanto, 2001-2002:16-17
[7] Ibid.,:16
[8] Lebih eksplisit watak modernism dan postmodernisme dikemukakan oleh Margaret A. Rose, (1991) dengan memperbandingkan keduanya dalam dualitas ekstrim, misalnya romantisme/simbolisme dengan dadaisme; bentuk dan anti bentuk; desain dengan perubahan; sistesis dengan antithesis; kehadiran dengan ketidakhadiran; naratif dengan anti naratif. Bdk. Joko Siswanto, 1998:160
[9] Misalnya, eksistensialisme, psikoanalisis, phenomenology, dan juga Marximism. Bagi mereka menemukan origen berarti menemukan realitas. Bagi postmodernisme tidak perlu lagi kembali kepada origin sebagai suatu realitas fenomena, realitas sumber, realitas akhir.
[10] Unity di sini diartikan sebagai unsure satu, kesatuan, ketunggalan.
[11] Postmodern menerima penolakan strukturalisme atas worshiping the altar of the self. Bdk. Armada Riyanto, 2002:2
[12] Penekanan pada nilai pluralism, suatu konsep yang mengekspreikan suatu pluralism fundamental. Di sini dapat dilihat dorongan-dorngan dan kemungkinan kritis dari para pemikir postmodernis yang anti totaliter. Nada pliralisme ini tampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Ferdinand de Saussure. Ia menekankan bahwa bahasa adalah lepas dari kenyataannya. Bahasa dapat dipelajari dari dirinya sendiri. Ungkapannya: “dalam bahasa tidak ada apa-apa kecuali hanya perbedaan system tanda” (Lowson, 1995); Bdk. Joko Siswanto, 1998:161
[13] Postmodernisme cendrung ke empirisme dengan induksi yang sangat murah. Penekanan postmodern pada fenomena empiris cendrung menilai rendah nilai-nilai yang transenden. Bdk. Joko Siswanto, 1998:161-162
[14] Otherness, realitas di luar diri saya, yang bukan saya. Constitutive otherness, suatu relasi, dimana realitas saya dibangun oleh realitas luar saya.
[15] Ruang bukan menyangkut keluasan, melainkan relasi interpersonal. Artinya saya berelasi dengan yang bukan saya. Orang lain. Memahami orang lain ialah dengan others, maksudnya dipahami dengan ide-ide yang di luar saya. Di sini manusia dipahami dengan selves, artinya:
1. Kesejatian manusia terletak pada relasi dirinya dengan orang lain.
2. Mempertimbangkan eksistensi yang lain merupakan wujud dirinya sendiri.
3. Orang harus sampai pada kesadaran bahwa orang lain juga membentuk dirinya, diri saya.


[16] Boleh dikatakan bahwa dengan “pembunuhan” rasio, produk modernis, Nietzsche telah mencetuskan ide postmodernisme. Oleh karena itu, Nietzsche dianggap sebagai “sesepuhnya” postmodernisme.
[17] Lahir pada tahun 1930 di Algeria. Belajar di Ecole Noemale Superieure , Perancis. Waktu muda pernah menjadi anggota Partai Komunis di Perancis. Bdk. Joko Siswanto, 1998:162; Bertens, 1996:326-328
[18] Tentang Heidegger Derrida berkata: “Segala sesuatu yang saya usahakan ini tidak mungkin tanpa lingkup keterbukaan yang diciptakan oleh Heidegger”. Bdk. Bertens, 1996:328-329; Joko Siswanto, 1998:163
[19] Yang-ada diidentikan dengan eidos, arche, telos, energia, ousia, consciousness, God, Man. Bdk. Benaconi, 1978
[20] Husserl mendekatkan diri dengan metode yang dikemukakan Descartes tentang keraguan. Ia menyangkal segala sesuatu dan ingin memulai proses pemikirannya dari titik nol. Bdk. E. Sumaryono 1993:110
[21] E. sumaryono, 1993:122
[22] Ferdinad de Sausure adalah seorang strukturalist yang menggagas semiologia atau semiotika yang mempelajari symbol (sign) dalam bingkai kehidupan social manusia. Bahasa merupakan symbol. Cetusan kecerdasan. Bahasa merupakan prosuk dari keseluruhan sisten dari atto individuale/sociale. Teori bahasa seperti permainan SKAK. Setiap kata mempunyai makna sendiri-sendiri. Penggunaan bahasa merupakan permainan skak kata-kata yang tunduk pada system. Struktur bahasa ini berjalan sebagaimana biasanya, dan makna terkait di dalam struktur itu. Dengan ini Saussure hendak menjelaskan struktur kehidupan social manusia dengan institusinya. Ordo social, bagi Saussure, identik dengan ordo linguistiknya.
[23] Permainan bebas yang dimaksudkan adalah seperti yang digagas oles Saussure tertang bahasa yang dilihat sebagai permainan skak.
[24] Tradisi metafisika disebut logosentris karena memprioritaskan tuturan atau ucapan di atas tulisan. Artinya ucapan mendahului tulisan.
[25] E. Sumaryono, 1993:115
[26] Kata differance diturunkan dari bahasa Latin: differe, yang artinya berbeda, menunda, menangguhkan. Dalam bahasa Perancis ada dua kata berbeda yang pengucapannya sama, yaitu difference dan differance. Difference dapat berarti tidak sama, lain, berbeda. Sedangkan kata differance memiliki suatu uraian panjang yang oleh Derrida digunakan dalam hubungannya dengan seni, kesusasteraan, ataupun bahasa. Jadi antar keduanya dapat dibedakan dalam kerangka ruang dan waktu. Bdk. E. Sumaryono, 1993:114