Minggu, 17 Mei 2009

Postmodernisme

Postmodernisme Sebagai “Peristiwa Filosofis” –
Indikasi-Indikasi Gebrakan Postmodern

Apakah Postmoder? Filsafat, atau lebih tepat dsebut peristiwa filosofis, yang dewasa ini amat dominan. Ia amat mendominasi diskusi-diskusi di dunia intelektual. Di mana saja. Postmodern merambah aneka wilayah kehidupan manusia. Ia menyentuh wilayah seni, sastra, politik, arsitek, mode, bahkan juga religiusitas. Perkara-perkara agama tak luput dari ‘gempuran’ peradaban postmodern. Cara-cara hidup beragama mengalami pergeseran-pergeseran. Demikian juga denga model-model dalam menjalin hubungan antara manusia juga terkontaminasi elemen-elemen peradaban ini. Akan tetapi, uraian ini hanya akan berurusan dengan wilayah filsafat. Tidak merambah seluruh wilayah yang terkena imbas postmodern.
Dalam panorama pengembaraan akal budi manusia, maksudnya dalam sejarah panoramic peradaban filsafat, postmodern memiliki kerumitan asal-usul, yang tidak terlalu jelas. Tiba-tiba terdengar argumentasi-argumentasi yang nyeleneh, aneh, yang mendobrak ortodoksi dan kemapanan. Juga peristiwa-peristiwa yang bermunculan tak terduga, tanpa prediksi, sehingga membuat kita tebengong-bengong. Apa yang dulu dianggap tabu, kini wajar-wajar saja. Apa yang dulu tak pernah terpikirkan kini terjadi dan tak mungkin untuk ditolak. Belum sempat orang menggagas prinsip etisnya, peristiwa demi peristiwa telah bergerak dengan demikian cepat. Ketidakjelasan asal usul sering digambarkan dengan adagium bahwa postmodern itu bak hantu, atau sesuatu yang tidak bisa dipastikan dari mana datangnya dan dimana keberadaannya, yang menyisakan sebuah perkiraan yang sering bersifat mustahil. Demikian juga dengan postmodern. Indikasi asal usul filsafat postmodern hanya akan menjelaskan kurang lebih darimana filsafat itu diasalkan, bahkan sulit dirumuskan.
Seorang tokoh yang dapat dikatakan sebagai penggagas postmodern, Derrida, ketika ditanya tentang “apa itu dekonstruksi” berkata bahwa “itu memang sulit”, dengan gerakan tangannya untuk mencoba mendahului uraian dari mulutnya…”ya inilah dekonstruksi itu. Terminology dekonstruksi adalah emblem untuk filsafat postmodern. Dekonsrtuksi adalah terminology Derridian. Degan berkata “ya, inilah dekonstruksi itu” (sambil tangannya bergerak-gerak), Derrida hendak menjelaskan bahwa ekspresinya yang mau menguraikan makna terminology itu sudah melukiskan dekonstruksi itu sendiri. Dengan ini Derrida memaksudkan bahwa dekonstruksi langsung berkaitan dengan symbol-simbol atau isyarat gerakan (gesture). Derrida sedang menciptakan symbol bagi terminologinya, dekonstruksi, dengan suatu gerakan tangan – yang oleh manusia yang bertanya kala itu – harus dibaca. Kehadiran postmodernisme memang sulit diprediksikan, menyelinap, dan sulit diparafrasekan dalam wacana rasional. Seolah memahami postmodern berarti menduga-duga tentang kenyelenehan dan segala ketidak-normalan.

Indikasi Kemunculan Postmdern
Dalam Tataran Seni Arsitektur
Beberapa indikasi kehadiran postmodern; misalnya, pada tataran arsitek, tiba-tiba hadir ketidak-konvensionalan gaya. Bukan hanya bentuk bangunan yang tidak tampil seperti biasanya, melainkan juga ruang yang memberikan emosi yang tak wajar. Kemegahan suatu bangunan, misalnya, tidak lagi diletakkan pada ketinggiannya yang menjulang tinggi menjangkau langit, melainkan pada model-model yang tidak wajar. Keindahan berpadu, bukan bersaing dan dalam kesemerawutan yang menyertakan nilai naturalitasnya yang menjadi bagian dari ruang itu sendiri.

Postmodern dan Wilayah Politik
Pada tataran dunia politik, bukan lagi dominasi kaum maskulin. Tidak ada lagi idiologi yang dalam sejarah perkembangan pemikiran menonjolkan maskulinitas. Dengan maskulinitas, tidak hanya memaksudkan kaum pria sebagai lawan dari kaum wanita, melainkan memaksudkan symbol kekuasaan. Dari semua peradaban politik dunia, symbol kekuasaan dimonumenkan dengan phalus, yang adalah gambaran alat kelamin laki-laki. Peradaban Mesir kuno atau bahkan sebelum itu juga meninggalkan pemikiran monument maskulin sebagai emblem kekuasaan. Juga apa yang disebut dengan tugu pahlawan. Untuk menyebut terminology pahlawan, orang diajak untuk melihat terminology phalus.

Dewasa ini, dalam peradaban postmodern ini, seputar symbol-simbol perlu dibaca ulang. Atau, dalam garis pemikiran Derrida, perlu di-dekonstruksi. Derrida konon termasuk filsuf yang berbelit-belit dengan pemikiran yang sukar dipahami. Tetapi imbas gaya dekonstruksinya menggeser pola pandang macam maskulinitas kekuasaan. Perjuangan gender sekarang ini bukan hanya isu, melainkan relevansi kepada persamaan derajad, hak, pengakuan atas identitas, stereotip. Kesempatan untuk berkembang dan berekspresi dengan menyertakan tanggungjawab dan mengedepankan martabat yang sama. Dengan postmodern, format formalisme maskulinitas digugat. Seorang wanita adalah dirinya sendiri, tampa perlu seorang laki-laki yang menyebutnya wanita. Artinya, wanita adalah penguasa atas dirinya, jalan pikirannya, keaktifannya, keputusan hidupnya.

Postmodern merubah emblem maskulinitas kepada gender dan feminism. Poltik modern ialah plotik idiologi, dan idiologi identik dengan maskulinitas. Mengapa? Idiologi adalah kekuasaan, dan yang berkuasa adalah kaum maskulin, dan emblem idiologi bergantung erat dengan maskulinitas. Sebut saja, Individualisme Hobbesian, Kolektivisme-Komunisme Marxis. Nasionalisme Totalitarian Hitler, Chauvinisme Nippon Jepang, Fasisme Musolini, maupun Pancasila ala Orde Baru, semua tidak menyisakan rincian kekuatan dan kekuasaan kaum feminin.[1] Perubahan dan pergeseran dalam wilayah politik memang mencolok dengan hadirnya bentuk-bentuk perjuangan gender dan feminism, dengan penegasan bahwa wanita adalah sama dengan laki-laki dalam kodrat, termasuk di dalamnya peran dalam dunia politik.

Postmodern: Pergeseran hubungan antar manusia
Karena postmodern, wilayah hubungan antarmanusia mengalami pergeseran. Dalam postmodern, relasi antar manusia tidak dipatok dalam bingkai otoritas, melainkan dalam prinsip-prinsip yang mengatasi realitas fungsional. Orang sering meyakini peran otoritas dalam berelasi dengan sesamaya. Orang tua, ayah dan ibu, memiliki otoritas terhadap anak-anaknya. Suami memiliki otoritas sebagal kepala keluarga dalam rumah tangganya. Isteri, memiliki otoritas sebagai pendamping suaminya. Guru merengkuh otoritas terhadap anak didiknya ketua RT memiliki otoritas terhadap keluarga yang menjadi tetangganya. Pejabat memiliki otoritas terhadap siapa pun yang berada dalam wilayah jabatannya. Dan seterusnya.

Postmodern menggagas paradigma baru. Pola hubungan tidak lagi terpaku pada otoritas. Bukan lagi ayah yang memiliki otoritas tanggungjawab keluarga, melainkan seluruh anggota keluarga dengan perannya masing-masing. Bukan hanya laki-laki yang memiliki kans untuk menjadi pemimpin negar, melainkan siaa saja yang berkompetensi, termasuk di dalamnya kaum perempuan. Bukan negara yang memgang otoritas berlakunya hokum, melainkan prinsip keadilan dan kebenaran. Bukan syariat yang menjadi pondasi tata tertib hidup umat beragama, melainkan kesadara rasional akan perlunya prinsip-prinsip ketaqwaan dan perdamaian hidup bersama.

Postmodern dan Religiusitas
Postmodern juga merambah dunia religiusitas. Dalam peradaban modern, religiusitas dipersepsi sebagai suatu cita rasa ketaatan, keimanan, ketakwaan kepada Tuhan. Postmodern memiliki perepsi sendiri yang berbeda. Religiusitas:
  1. Performatif dan redemtif. Artiya, apa yang disebut dengan suka cita rasa keimanan kepada Tuhan bukan sekedar terarah kepada satu doktrin, satu dogma, satu huku, satu syariat yang benar.
  2. Economic. Religiusitas harus memiliki karakter yang mampu menampilkan diri secara konkret.
  3. Religiusitas adalah suatu hidup, yang memikat, pantas dipeluk, dan layak dijalani. Religiusitas bukan suatu keterpaksaan dan bukan keniscayaan.

Dengan kata lain, religiusitas bukanlah ketaatan iman sendiri. Bukan pula rigoritas atau radkalitas militeristik, teoristik. Religiusitas adalah pengalaman redemtif, yang membuat hidup manusia lebih baik dari ke-areligiusitas-an. Religiustas berarti pengalaman sukacita, menyelamatkan, dan menyembuhkan. Bukan sekedar liturgy, doktrin, syariat. Religiusitas adalah suatu pengalaman manusiawi, terkait denga hidup keseharian, saat ini, dan di sini. Bukan sekedar janji akan kenikmatan surgawi. Religiusitas adalah pengalaman yang menyelamatkan dan membebaskan dari belenggu ketidakpastian, keniscayaan, takdir, dan keterpaksaan nasib.

Postmodern dan Konsep KeTuhanan
Postmodern membawa pergeseran dalam pemahaman konsep tentang Tuhan. Sebelum postmodern, Tuhan dimengerti sebagai sang creator (Pencipta). Dan, yang lain selain Tuhan adalah ciptaan (creature). Sebagai Pencipta, Tuhan adalah segalanya. Artinya, manusia dan segala ciptaan yang lain tergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Inilah suatu bentuk relasi ketergantungan. Ketergantungan ini – dalam filsafat Thomas Aquinas dan teologi Kristiani (juga teologi agama-agama monoteistik) – diungkapkan dengan distingsi bahwa Tuhan itu necessarium, sementara manusia itu contingens. Tuhan itu prinsip “Harus” dari segala apa yang ada, sedangkan manusia itu sebagai ciptaan “bisa ada, bisa tidak”. Manusia tidak mungkin bisa ada tanpa sang prinsip “Harus Ada” tersebut. Tuhanlah yang meng-adakan manusia. Dalam tataran penghayatan spiritual atau religious dalam hidup kongkret sehari-hari, Tuhan adalah Dia yang kita sembah. Awal dan tujuan akhir hidup manusia.

Peradaban postmodern memiliki pemahaman lain. Relasi antara Tuhan dan manusia tidak dimulai dari pengertian tentang siapa Tuhan, karena sudah jelas bahwa Tuhan adalah Pencipta, melainkan dari pengertian mendalam tentang manusia. Siapakah manusia? Pemahaman postmodern itu bersifat dekonstruktif, namun bukan maksudnya penghancuran wacana tradisional, melainkan penelaahan ulang atas wacana tradisional.[2] Postmodern tidak sekedar menggeser pengertian doctrinal tentang Tuhan, melainkan mengelaborasi teologi dari antropologis. Pengalaman manusia adalah titik berangkat refleksi teologis. Dan karena pengalaman keseharian manusia bersifat plural maka sulit untuk diseragamkan ke dalam satu bahasa sebagai demikian, dan bukan sekedar suatu relasi yang gambling Tuhan adalah Pencipta dan manusia adalah ciptaan-Nya. Dalam postmodern, relasi antara Tuhan dan manusia bisa berupa suatu pemberontakan, protes, syukur,dan kepasrahan. Tuhan bukan hanya entitas encompassing (yang melingkupi dan mengatasi segalanya) melainkan juga dapat berupa pribadi yang dituduh, diadili, dimaki. “keterlibatan” atau “sikap diam” Tuhan dipersoalkan secara amat mencolok dalam konteks penderitaan manusia tak berdosa.[3]

Postmodern dan Pemahaman Rasional Manusia
Tentang persepsi manusia terhadap realitas: dari rasionalisme ilmiah ke mitos. Kemodernan menggagas realitas dalam suatu cakrewala obyektif. Obyektivitas dipahami sebagaimana dalam tatanan investigasi ilmu. Realitas manusis, misalnya, memiliki suatu pemahaman obyektif, apabila dilihat sebagai makhluk rasional (filsafat), yang memiliki pertumbuhan jiwa seiring dengan perkembangan tubuhnya (psikologi), yang menjalin relasi dengan sesamanya dalam hidup bersama (politik). Dan seterusnya. Dengan kata lain, realitas obyektif manusia hanya mungkin oleh pemahaman rasional ilmiah.

Pemahaman itu bukan satu-satunya pemahaman valid. Postmodern membuka tebir pemahaman rasional ilmiah. Manusia memiliki berbagai kemungkinan yang keseluruhan kekayaannya tidak mungkin dicakup secara rasional ilmiah. Ada sekian gejala-gejala real yang tak mungkin sepenuhya dicerap oleh akal budi manusia. Dunia paranormal misalnya, menjadi wilayah yang hingga saat ini belum terambah oleh rasionalitas ilmiah. Bahkan penjelasannya pun tidak memungkinkan suatu pemahaman rasional. Juga perubahan-perubahan mentalitas yang tidak secara gamblang dikalkulasi dan distatistikkan alasan-alasannya. Contoh, dalam mengatasi masalah dalam keluarga, manusia dewasa ini lebih cendrung memilih lari ke wilayah-wilayah seputar dukun atau paranormal, ramalan-ramalan, dan tidak datang ke pakar konseling atau psikiater.

Peradaban postmodern adalah peradaban beyond rasional, namun bukan irasional. Realitas dihadapan manusia bukanlah semata suatu entitas yang harus dikuasai, digarap, direngkuh. Realitas adalah kekayaan yang terbentang luas dan tak terbatas. Manusia kerap merasa kecil dan terbatas bila berhadapan dengan bentangan kekayaan realitas, dan sering merasa mustahil, tidak masuk akal menurut keabsahan rasionalitas ilmiah manusia. Namun keterbatasan inilah yang menjadi emblem kekuatan yang tiada tara keajaibanya. Keajaiban tidak dipahami sebagai kekuatan hebat, melainkan keterbatasan yang mengatasi. Kekuatan tidak diletakkan pada suatu kekuasaan, kehebatan fisik, kehendak menggebu-gebu, melainkan pada keterbatasan kesadaran.

Postmodern dan Pergeseran Kultur
Dari idiologi kepada kultur. Idiologi adalah system rasional, bak suatu paket yang dikemas dalam pemikiran yang menapilkan analisis, promosi pemahaman, dan gagasan rasional. Idiologi menghasilkan kekuasaan, bukan karena menggagas suatu upaya perebutan kekuatan, melainkan karena idiologi selalu menganut rasionalitas yang memiliki target dan tujuan kepentingan. Idiologi bukanlah suatu ilmu kendati memiliki karakter rasional karena tidak pernah menghadirkan suatu rasionalitas yang memiliki makna dalam dirinya sendiri. Makna rasionalitas idiologis selalu tercurah kepada kepentingan, dan selalu memaksudkan kepentingan yang bersifat individu dan menyisihkan kepentingan pihak lain. Disinilah absurditas rasionalitas idiologi, karena jelas bahwa pe-ngesampingan kepentingan pihak lain bukan merupakan wujud pengungkapan rasionalitas, bahkan dengan mudah bergeser pada irasionalitas, bahkan ultra-rasionalitas.

Terminology terakhir ini merupakan nama untuk apa yang disebut dengan fanatisme. Dewasa ini, fanatisme, yang hampir selalu merupakan suatu bentuk ultrarasionalitas, tidak hanya gandeng dengan wilayah idiologis, melainkan juga agama. Kendati agama adalah domain aktivitas keselamatan, namun tetap rentan akan cetusan-cetusan ultra-rasional, sehingga melahirkan kelompok yang mengarah kepada suatu gaya atau model kekerasan.

Idiologi memang menyatukan, tatapi sekaligus menyempitkan. Reduktif Idiologi dewasa ini sudah dipandang mati, dan hanya menyisakan kenangan. Sementara itu yang dipandang tumbuh dan berkembang adalah penemuan kesejatian diri pada wilayah kutural. Dari idiologi ke kulturan, sebuah pencarian dan pencapaian yang tidak mudah dan bukan sekedar ala kadarnya, bahkan banyak bangsa yang gagal dalam pencarian kesejatiannya sehingga jatuh dapam perselisihan perang yang tak kunjung henti.

Dari Universalitas ke Partikularitas
Tema postmodern dominan menyentuh wilayah pergumulan tarsidisional akal budi manusia. Sudah sejak awal peradaban filsafat, perhatian terkuras pada pencarian kebenaran universal. Sejak Thales, kemudian Plato, sampai pada Kant, universalitas adalah kesejatian, esensi, kebenaran itu sendiri. Rumusan universalitas adalah rumusan absah, artinya apa yang particular tidak memiliki wibawa obyektivitas. Dengan demikian tidak pernah bisa menjadi rujukan, dan tidak meyakinkan.[4] Universalitas identik dengan rasionalitas. Universalitas sama dengan quidditas. Postmodern mengajukan kulturalitas. Sebuah pencarian makna martabat partikularitas. Postmodern tidak mau berlelah-lelah mencari quidditas. Pencarian esensi. Esensi tidak diperlukan, juga universalitas. Kesejatian tidak diasalkan dari esensi, melainkan representasi. Artinya, pencarian abstraktif rasional tentang hakikat universal realitas sama sekali tidak berguna. Kesejatian adalah kehadiran. Karena representasi atau kehadiran sangat khas, kesejatian tidak diletakkan pada universalitas, melainkan pada partikularitas. Misalnya, manusia sebagai makhluk rasional merupakan penemuan pengertian universal. Tetapi, pengedepanan rasionalitas manusia sebagai yang harus mengalirkan pengertian-pengertian yang berlaku bagi siapa saja, di mana saja, dan kapan saja terasa tak relevan. Maka universalitas rasional manusia harus pula diartikulasikan bahwa manusia adalah makhluk cultural. Rasionalitas manusia, dengan demikian, khas, karena dibangun dalam budaya.

Postmodern, Pergeseran dari Uniformitas ke Unitas
Peradaban modern mengunggulkan peran akal budi secara amat mencolok. Emblem kemodernan adalah obyektivitas atas realitas. Maksudnya, suatu statement akan meyakinkan hanya apabila memiliki kebenaran obyektif. Apabila tidak obyektif, pernyataan tersebut salah. Apa artinya obyektivitas? Obyaktivitas mengandaikan suatu pertimbangan. Obyektivitas adalah ketunggalan jalan pikiran yang dipandang abash sebagai demikian, dan tidak pernah menunjuk kepada keragaman. Sebab dalam obyektivitas, keragaman adalah kerancuan dan tidak logis. Obyektivitas identik dengan kelogisan, tidak pernah berbagi, dan tidak bersifat plural, melainkan tunggal. Ketunggalan inilah yang mencetuskan peradaban modern. Peradaban modernitas adalah peradaban satu dimensi, yaitu dimensi obyektif, sehingga tidak sulit untuk ditengarai bahwa pemahaman ketunggalan ini dengan mudah tergelincir pada uniformitas, yang merupakan emblem sesungguhnya dari peradaban modernitas. Misalnya, idiologi. Peradaban idiologi, baik dalam teori maupun dalam kenyataan hidup sehari-hari adalah peradaban satu dimensi, sebab hanya ada satu kebenaran yang harus dianut, diikuti, dan menjadi pedoman dan landasan. Keabsahan jalan pikiran hanya terdapat dalam cetusan idiologi, dan cetusan itu semata merupakan jalan pikiran sang pembuat idiologi. Menampilkan idiologi berarti menampilkan pula wujud kekuasaan yang kemudian memunculkan simplifikasi yang menindas kekayaan. Maksudnya, dengan idiologi, berarti hanya ada satu keabsahan yang diakui, sementara di luar itu semua cetusan, teori, gagasan, ide, poin, tidak pernah berlaku. Dengan idiologi berarti hanya ada satu bingkai yang merangkul wujud dari kekuasaan.

Postmodern memiliki pandangan yang lebih merujuk pada unitas. Postmodern lebih mengedepankan unitas daripasa uniformitas. Dalam unitas lebih diakui ke-organikan. Dengan pengakuan bahwa setiap bagian memiliki kemampuan dan kemandirian serta daya self-determination. Setiap bagian berkuasa atas dirinya sendiri. Dengan unitas, berarti pemakluman adanya perbedaan, keberagaman, bahkan emrupakan penampilan bagi setiap nilai detail yang dimiliki. Dengan demikian keragaman merupakan obyektivitas dalam dirinya sendiri, tanpa mereduksi obyektivitas yang disempitkan pada tatanan tertentu. Jadi tidak ada pelukisan tunggal. Semua memiliki makna dan juga keabsahan masing-masing.

Postmodern, dari unitas formal ke otentisitas manusiawi
Idiologi – menurut sebagian orang – bukan uniformitas, melainkan unitas formal. Idiologi tidak menggagas keseragaman melainkan kesatuan yang secara formal diperlukan dalam hidup bersama. Sementara di pihak lain unitas merupakan kehancuran dan kerancuan. Negara-negara penganut idiologi komunis, yang de facto sudah ketinggalan jaman, menampilkan diri sebagai negara yang tertib. Di lain pihak, tidak bisa disangkal bahwa unitas formal yang ditawarkan sama sekali tidak membuat manusia menampilkan otentisitasnya. [5]

Idiologi meninabobokan rasionalitas manusi dalam cara-cara yang koersif, memaksakan. Orang tidak boleh berpikir lain selain apa yang dipikirkan dan diprogramkan oleh negara, instansi yang berkuasa. Sekali lagi, idiologi menampilkan unitas formal yang menunjukkan kedangkalan dan pelenyapan keragaman.[6]

Hidup bersama dalam peradaman pasca idiologi semacam itu merarti hidup dalam peradaban di mana keragaman, pluralitas, dipuja, termasuk di dalamnya cara berpikir dan berpersepsi. Hidup dalam keseragaman itu mudah, tetapi sekaligus mendangkalkan. Sebaliknya, menggagas otentisitas manusiawi itu sangat rumit, tetapi sekaligus menampilkan kekayaan yang penuh makna.

Postmodern: dari Konstruksi ke Dekonstruksi
Dengan dekonstruksi sama sekali tidak memaksudkan penghancuran, pembubaran, peniadaan. Konstruksi memang berarti membangun. Dan dekonstrusi tidak serta merta mengatakan sebaliknya. Konstruksi memaksudkan pendirian rasinalitas. Ini kekhasan modernitas. Descartes adalah pionirnya. Ia mendirikan rasionalitas dalam cara yang sama sekali baru. Rasioalitas bukan semata perkara diskrepansi atau korespondensi ide akal budi manusia dengan obyek realnya. Rasionalitas adalah kesadaran. Dengan kesadaran maksudnya mengarah kepada subyektivitas. Kesadaran bahwa ‘aku’ adalah entitas yang berpikir. Terminologi Cartesian melukis dengan ‘res cogitans’. Manusia adalah res yang menyadari. Inilah konstruksi akal budi yang digarap dengan demikian intens dan mendalam. Kesadaran manusia adalah kesadaran rasional yang tidak pernah berhenti sebelum memiliki keyakinan mengenai keabsahan.

Terminology konstruksi mau mengatakan bahwa manusia memiliki segalanya untuk menggagas tentang dirinya, hidupnya, sesamanya, lingkungannya, Tuhannya, dan segala sesuatu yang andil dalam keseharian hidupnya. Produk dari konstruksi rasional ini dengan mudah dapat disebut. Yaitu, ilmu pengetahuan, teknologi, idiologi, agama, hokum, metafisika, pengertian transcendental dan yang sejenisnya. Ilmu pengetahuan mengajukan kepastian, keilmiahan, metodologi, keobyektifan. Teknologi memberikan iming-iming, persuasive, kemudahan, keenakan. Iidiologi menggagas kesatuan politis tata hidup bersama. Hukum dan keadilan. Agama menawarkan surge. Metafiska mengantar kepada kedalaman. Transcendental menembus keterbatasan dan kedangkalan. Demikianlah adagium-adagium promotif dari peradaban kemodernan. Sangat konstruktif. Dan memang tampak benar dalam kehidupan selama ini.

Tetapi dalam analisis postmodern, promosi-promosi di atas sekedar menjanjikan kepalsuan. Ilmu pengetahuan bukanlah menampilkan kepastian, melainkan power, kekuasaan. Benarlah apa yang diungkapkan oleh Francis Bacon: Science is power! Dan kekuasaan berarti kepentingan. Tidak ada rasionalitas. Science yang mengagungkan keilmiahan lantas bukan suatu rincian investigasi rasional metodologis, melainkan membuat kepentingan-kepentingan yang mengemuka. Science tidak lagi scientific melainkan naratif. Bualan. Kisah. Dongeng, dan membuai, meninabobokan, memanjakan, mengelabui. Tidak ada protes terhadap kepentingan penguasa.[7] Agama adalah alat kekuasaan. Hukum mengabdi kekuasaan. Metafisika menjadi ajang pengembaraan rasio manusia yang nganggur. Produk-produk kemodernan pendek kata telah menjatuhkan peradaban ke tingkat yang sangat rendah. Orang bertengkar mengenai idiologi. Bangsa-bangsa terpecah dan saling menyisihkan karena kemajuan ilmu pengetahuan. Produk kemajuan justru membuat peradaban manusiawi mundur. Inilah paradox kemodernan. Postmodern melabrak kepentngan. Menggebrak narasi, grand narrative produk modernitas yang sarat dengan janji dan kepalsuan.

Bagaimana postmodern menggebraknya? Derrida mengajukan aktivitas rasional, yang disebut dengan dekonstruksi. Dekonstruksi tidak menawarkan penghancuran. Dengan dekonstruksi dimaksudkan pembacaan ulang seluruh realitas sebagai suatu “teks”. Dan karena realitas dipandang sebagai suatu teks, dekonstruksi berhadapan dengan suatu bahasa. Dengan bahasa, tidak dimaksudkan terutama dengan kata (word), melainkan sign (sismbol). Dekonstruksi akan memandang bahwa realitas sesungguhnya adalah dunia symbol. Dari Ferdinand de Saussure, kita tahu bahwa apa yang disebut dengan sign terdiri atas struktur signified (realitas yang dimaknai) dan signifier (pemberi makna realitas tersebut).[8]

Pemandangan terhadap realitas biasanya seringkali merupakan produk signifier. Klaim modernitas atas keabsahan sesungguhnya langsung berhubungan dengan struktur signifier-nya, dan bukan menyentuh signified-nya. Artinya, ada struktur-struktur pemahaman rasional yang – dalam ilmu pengetahuan – terjadi penekanan-penekanan yang berlebihan dan kompromitas atas realitas. Misalnya, dalam idiologi, apa yang orang simak adalah paradigm-paradigma rasional simplistic atas prinsip kesatuan. Sebut saja, Persatuan Indonesia. Prinsip persatuan memaksudkan bahwa seluruh manusia Indonesia harus bersatu. Atau paling sedikit, tidak melawan prinsip itu. Apa yang terjadi selanjutnya? Yang terjadi adalah simplifikasi prinsip persatuan. Muncul doktrin yang mengedepankan pembelaan persatuan di atas nilai-nilai moral keadilan dan kesejahteraan. Barang siapa yang melawan prinsip persatua sama dengan melawan moralitas bangsa. Yang memisahkan diri atau mencoba memisahkan diri adalah musuh bangsa, teroris, penjahat.[9]

Postmodern sekarang membuka mata akal budi manusia bahwa idiolog “Persatuan bangsa” telah digeser kepada adagium yang membela kepentingan, dan berbicara mengenai kepentingan berarti kepentingan penguasa. Aktivitas dekonstruktif itu menyentuh langsung perkara pemurnian rasional dan cara berpikir. Tidak reduktif. Tidak idiologis. Melainkan mencerahkan. Memanusiawikan.
Notes

[1] Postmodern menyoal Aristotles yang menjerumuskan kaum wanita sebagai bagian dari suatu system polis, tapi lumpuh dalam suatu penjara system kehidupan yang jauh dari dikusi periha virtus dan seterusnya. Demikian juga dengan Hegel yang menyepelekan wanita dengan mengatakan wanita sebagai makhluk tak rasional.
[2] Feuerbach pernah menggusur konsep doctrinal dengan berkata bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, melaikan manusialah yang menciptakan Tuhan. Feuerbach mempondasikan pemahamannya tentang Tuhan bertolak dari paham materialism, atau materialism religious.
[3] Anna Amstrong dalam bukunya History of God menggagas kemungkinan menggelar pengadilan akan Tuhan. Siapa yang dapat memahami penderitaan oran Yahudi yang dikejar-kejar pada jaman Hitler, atau orang-orang Bosnia semasa perang saudara di negara eks Yugoslavia, atau konflik mengerikan dalam peradaban manusia yang terjadi pada suku Tutsi dan Hutu. Perang yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina, ata bahkan penderitaan korban pertengkaran etnis, agama, socio-politic yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia? Siapa yang bisa menjelaskan bahwa penderitaan hebat itu semata-mata berkaitan dengan kelalaian, keteledoran, kesembronoan, dan kesalahan mereka?
[4] Sokrates menampilkan pergumulan yang pada prinsipnya menentang partikularitas – seperti ditampilkan dalam argumentasi kaum sufis – identik dengan jalan pikiran reduktif, negatf, skeptif. Thomas Aquinas menyebut esensi (universalitas) dengan quidditas (quid = apa-nya). Maka pertanyaan pertama filosofis seperti yang diajukan Sokrates ialah apakah. Pertanyaan dengan memakai terminology quid ini memaksudkan pencarian quidditas.
[5] Negara-negara komunis, macam Uni Soviet, membuktikan kebenaran itu, dengan ketertinggalan dan kemunduran seabad untuk menggalang kemajuan, semata-mata karena dalam rejim komunis, tidak ada ruang bagi penggalian otentisitas manusiawi.
[6] Indonesia pernah mencetuskan bhineka tunggal eka, sebuah pemeo-an yang diderivasi dari suatu pemikiran fasis (fasisme (fasis berasal dari kata faso yang berarti ‘sapu’) – dalam arti sesungguhnya, mengatakan sesuatu yang sangat bagus, yaitu ide tentang kesatuan). Tetapi sayangnya, bhineka tunggal eka, direalisasikan hampir sepanjang waktu dalam penampilan pakaian atau model-model rumah – Taman Mini Indonesia Indah – yang semuanya menampilkan dan hendak mengatakan keseragaman, bukan keberagaman. Dan seseragaman macam itu bukan target, bukan tujuan. Bukan pula kepentingan.
[7] Simak apa yang terjadi dengan idiologi-idiologi macam nasionalisme totalitarian, komunisme, individualism, chauvinism, fasisme.
[8] Ilmu tentang sign atau tanda disebut dengan semiotic atau semiotika.
[9] Ingat kasus Xanana Gusmao. Pemerintah Soeharto bahkan dengan bangga menganugerahkan bintang tanda jasa yang sangat tinggi untuk militer yang telah berhasil menangkap Xanana, Sang teroris, sparatis yang subversive. Dan masih tergiang mass media melukiskan penangkapan Xanana sebagai puncak keberhasilan tiada tara, sekaligus dengan segala uraian kotor tentang sosok Xanana. Akan tetapi sekarang semua orang tahu siapa yang sebenarnya jahat dan kotor dalam sejarah peristiwa itu, dan siapa pejuang kemanusiaan yang sesungguhnya. Problemnya mungkin tidak sekedar bahwa itulah jaman Orde Baru dengan kekhasannya yang tidak dimiliki oleh jaman lain. Melainkan wacana pada waktu itu adalah wacana idiologis, yang berupa simplifikasi atas prinsip rasional. Hal serupa juga terjadi pada sosok-sosok pejuang kemanusiaan. Sebut saja Usku Bello, Yasser Arafat, bahkan pemerintah Inggris menyesali tindakannya, karena telah pernah menolak kehadiran Nelson Mandela – kala itu menjadi ‘buron’, dan teroris (untuk rejim saat itu) – di wilayah Inggris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar